Sunday, December 20, 2009

Joyce dan Sepeda Jengk

Siang ini aku duduk di dalam kelas saja, tidak ikut keluar istirahat. Ulangan Kimia terakhir aku dapat skor telak: 3! Sebetulnya membaik, karena naik dari nilai 2 sebelumnya, tetapi tetap saja di bawah rata-rata. Tetapi apa mau dikata, kelihatannya aku memang tidak berbakat di pelajaran Kimia, sejak masuk di kelas 1A4 ini sampai sudah hampir semesteran, aku masih belum bisa mendapat nilai pas 6. Maka siang ini, aku memutuskan untuk membuka-buka buku Kimia Peperzak, mencoba mengerjakan satu dua soal. Setidaknya nanti kalau Pak Kris bertanya, aku bisa jawab sedikit-sedikit.

Aku mencoba satu soal tentang hukum Pascal. Mencoba mengerti maksud dari kata-kata soal itu, tapi koq kayaknya tidak masuk-masuk. Sambil mencoret-coret enggak jelas, aku mulai menghitung-hitung dengan rumus sekenanya. Tiba tiba sebuah tangan menepuk mejaku keras-keras, “Dit!....” Aku terlonjak.

Joyce berdiri di samping mejaku sambil senyum-senyum. Rasa kagetku masih belum hilang. “Ngapain di kelas aja?” Tanyanya, masih sambil senyum-senyum seenaknya. Tangannya mulai iseng, ikut-ikut membuka halaman buku Kimiaku. “Aku lagi pusing, Jo, Kimiaku jeblok!” Jawabku, setengah berbisik.

“Emang, kamu dapet berapa?”

“Malu ah Jo, cuma tiga…”

“Ha…ha… masih pinteran aku dong…”

“Kamu berapa?”

“Empat!! Ha…ha…ha…” Tawa Joyce menggema ke seantero kelas yang kosong.

Aku tidak terlalu menanggapi komentarnya. Masalahnya, rasa grogi mulai menyerang diriku. Ya, siapa sih tidak kenal Joyce di sekolah ini. Ia mulai masuk di kelasku pada pertengahan semester satu ini, mengikuti ayahnya yang pindah dari Sorong ke Jakarta. Joyce yang penampilan pertamanya saja bikin kaum cowok di kelas ini jadi tak konsen. Joyce yang ramah dan selalu tertawa lepas, tidak pernah tampak jaim, malah kaum cowok yang jadi jaim kalau berhadapan dengannya. Maka, saat dia berdiri di samping mejaku, di jam istirahat siang ini, waktu rasanya berhenti berputar.

“Eh, kamu lagi ngerjain apa, Dit?” Tanyanya, menyentak lamunanku.

“Ah… ini, lagi nyoba-nyoba soal Peperzak. Biar agak ngerti dikit…” Jawabku dengan setengah bergetar.

“Coba lihat… Eh, soal ini nih yang keluar ulangan kemarin. Coba Dit, kerjain deh..” Pinta Joyce, yang suaranya membuatku otomatis-tanpa sadar-mengambil pensil dan mulai corat-coret perhitungan persamaan kimia.

Ajaib!

Tiba-tiba koq aku bisa menangkap pertanyaan dari soal ini. Dan kurang dari dua menit, selesailah! Joyce segera mencocokkannya dengan kunci, dan…. Ternyata benar 100%.

“Ih… Didit, ternyata kamu pinter, nih buktinya bisa… Eh coba lagi deh yang nomor berikutnya…” Pintanya lagi, sambil sedikit menggamit lenganku. Seakan mendapat kekuatan entah dari mana…. Walah ternyata soal kedua inipun bisa kulalap dengan sempurna.

“Wah… emang bener kamu pinter Dit. Lain kali aku bisa numpang belajar bareng dong ya…” Ujar Joyce penuh semangat. Tanpa menunggu responku, ia berlalu sambil membawa kertas coret-coretan tadi. Aku masih terpana, takjub dengan kemampuan kimiaku yang baru saja terkuak, setelah sekian lama tersembunyi di bawah skor 4!

**********

Aku menengok kiri kanan, memastikan bahwa semua teman sekolah sudah bubar. Setelah yakin aman, segera kukeluarkan sepeda bututku dari balik pos satpam. Setiap hari sejak kubeli dari pasar loak Gang Asem dua minggu lalu, sepeda ini selalu kusembunyikan di sini. Bukannya apa-apa, tetapi saat motor bebek SuperCub sedang menjadi tren tahun 84 ini, membawa sepeda, apalagi bekas dan butut-catnya sudah belang- pasti akan jadi tontonan dan bahan sorakan seru.

Kucantelkan tas selempangku di pundak, melompat naik ala nyemplak kuda, dan kumulai kayuhan pertama…

“Diiiiitttt……..!”

Tak bisa kukuasai lagi peganganku pada setang sepedaku. Maka terjatuhlah sang sepeda warna biru-pink-hijau tembok ini, bergedubrakan bersama tubuhku dan isi tas yang tumpah ruah. Aku benar-benar kaget!

“Aduh… aduh… kalau baru bisa naik sepeda hati-hati dong…”

Dalam keadaan setengah tengkurap, aku mencoba mencari asal suara itu. Seorang gadis berambut sebahu tampak tengah memunguti isi tasku dan memasukkannya. Itu Joyce, yang tadi siang membuatku bisa menyelesaikan soal Peperzak.

Aku diam terduduk, masih tak mampu berdiri karena perasaan campur aduk, antara sakit di dengkul, rasa malu dan masih sedikit kaget. “Nih tasnya.” Joyce menyerahkan tas selempangku sambil menarik tanganku mencoba membantuku berdiri. Terlambat, aku sudah tidak bisa menyembunyikan keberadaan sepeda bututku dan statusku yang malu banget.

“Makasih…” Jawabku tanpa berani memandang wajahnya.

“Emang tiap hari kamu naik sepeda ke sekolah Dit?” Tanya Joyce dengan nada lugu.

“Iya…” Ya sudahlah, toh aku tak bisa menyembunyikannya.

“Padahal sudah enggak ada lho yang naik sepeda ke sekolah.” Ujarnya, “Tapi dulu di kampungku masih banyak. Yang naik motor cuma yang berduit saja.”

Ya, tentu saja, aku juga tahu. Kalau aku punya duit banyak pasti juga beli motor SuperCub itu.

Joyce melihat ke sepedaku, tangannya mencoba meraih setangnya, dengan pandangan yang sulit diduga.

“Aku kangen naik sepeda Dit. Udah lama sejak pindah ke Jakarta, aku enggak pernah naik sepeda.”

“Di rumah kamu enggak ada sepeda?” Tanyaku, kali ini seakan ikut terbawa perasaannya.

“Iya. Kangen lho naik sepeda ke sekolah ramai-ramai seperti dulu di Sorong.”

“Bukannya sekarang lebih enak, Jo, kan kamu diantar jemput sopir.”

Joyce tidak menjawabku. Tangannya sekarang sudah memegangi setang, dan tangan yang satunya mengelus-elus sadel sepeda jengki itu.

Tiba-tiba di luar dugaanku, Joyce berkata, “Dit, pinjam sebentar ya, aku putar-putar di lapangan parkir ini aja. Boleh ya, Dit…”

Aku hanya bisa mengangguk. Tanpa menunggu isyarat lebih jauh, ia segera nyemplak ke sadel sepedaku yang cukup tinggi-maklum, ukuran tukang ojek. Dan segera saja ia sudah berkeliling lapangan parkir.

Joyce tampak senang sekali. Rambutnya tergerai-gerai tertiup angin. Senyumnya tak lepas-lepas, memamerkan sederet gigi putih kemilau yang rapi. Joyce memang bukan asli Papua. Dulu, ayahnya yang pejabat di perusahaan minyak ditugaskan ke Sorong, dan ia lahir serta besar di sana. Sekarang, ayahnya kembali bertugas ke Jakarta. Tapi, yang kuperhatikan saat ini, bukanlah anak seorang berada yang biasa naik turun mobil. Yang di hadapanku, bersepeda berkeliling lapangan parkir adalah suatu pemandangan indah di sore hari. Seorang gadis cantik yang seakan terpukau oleh kegembiraan seperti anak kecil yang mendapatkan hadiah baru.

Akhirnya, kamipun saling bergantian naik sepeda itu, tertawa-tawa menikmati sore yang tidak panas ini. Joyce tak perduli, sopirnya sudah lama menunggunya. Hampir dua jam kami saling bersepeda. Setelah itu, kami duduk di tepi lapangan parkir, di bawah naungan pohon mahoni.

“Dit, boleh ya kalau besok-besok aku pinjam sepeda kamu.”

Aku mengangguk dan tersenyum, lupa bahwa dua jam lalu, aku masih merasa malu dengan sepeda jengki butut ini. Sekarang si jengki berdiri di atas sandarannya, tampak gagah, di hadapan kami. Kami lalu membahas rencana untuk mempercantiknya. Joyce bahkan sudah bertekad Sabtu ini untuk mengecat ulang sepedaku, yang belum kami sepakati warnanya. Habis, dia ngotot minta perpaduan merah muda dan ungu. Tapi aku tak perduli segala rencana lainnya. Yang jelas, sejak itu, kami menjadi begitu akrab.

**********

Maka, sejak peristiwa soal Kimia dan sepeda jengki ini, hidupku terasa berubah begitu banyak. Sekarang Kimia bukan lagi mata pelajaran yang menyeramkan, setidaknya skor minimalku adalah 7. Dan sepeda jengkiku… sekarang sudah jadi milik kami, aku dan Joyce. Aku tidak malu lagi menungganginya ke sekolah dan parkir di antara SuperCub dan GL-Pro. Hanya aku masih belum setuju rencana Joyce untuk melekatkan pita-pita warna-warni di setangnya.

## by Dytra: Suatu siang di 1984 ##


Tuesday, December 1, 2009

peribahas+<50contoh pribahasa

Peribahasa

Peribahasa (bahasa Inggris: proverb) adalah ayat atau kelompok kata yang mempunyai susunan yang tetap dan mengandung pengertian tertentu, bidal, pepatah. Beberapa peribahasa merupakan perumpamaan yaitu perbandingan makna yang sangat jelas karena didahului oleh perkataan seolah-olah, ibarat, bak, seperti, laksana, macam, bagai, dan umpama.

Contoh peribahasa dan maknanya:
  1. Di mana bumi dipijak di sana langit di junjung : jika kita pergi ke tempat lain kita harus menyesuaikan, menghormati dan toleransi dengan budaya setempat.
  2. Tiada rotan akar pun jadi : tidak ada yang bagus pun yang jelek juga tidak apa-apa.
  3. Buah yang manis biasanya berulat : kata-kata yang manis biasanya dapat menyesatkan atau menjerumuskan.
  4. Tak ada gading yang tak akan retak : Tidak ada satu pun yang sempurna, semua pasti akan ada saja cacatnya
  5. Ada air ada ikan: di manapun seseorang itu berusaha, tentu ada rezeki.
  6. Ada nyawa ada rezeki: selama masih hidup maka seseorang akan tetap mendapat rezeki.
  7. Ada aku dipandang hadap, tiada aku dipandang belakang: Bila sedang berhadapan bermulut manis, tetapi bila berbelakang lain perkataannya.
  8. Mahal tak dapat dibeli, murah tak dapat diminta: perihal sesuatu yang sulit diperoleh.
  9. Mati harimau meninggalkan belang, mati gajah meninggalkan gading : seorang manusia terutama diingat jasa-jasanya atau kesalahan-kesalahannya. Perbuatannya ini, baik maupun buruk akan tetap dikenal meskipun seseorang sudah tiada lagi.
  10. Badai pasti berlalu segala penderitaan pasti ada akhirnya.
  11. Bagai alu pencungkil duri: pekerjaan yang sia-sia atau tidak mungkin dilakukan.
  12. Orang bersiselam, awak bertimba : artinya orang lain mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, kita sendiri hanya dapat sedikit.
  13. Orang haus diberi air, orang mengantuk disorongkan bantal: orang yang dalam kesengsaraan, mendapatkan pertolongan
  14. Bagai bertanak di kuali: biaya yang dikeluarkan terlalu besar sehingga hasil yang diperoleh menjadi sedikit
  15. Dari jung turun ke sampan: turun pangkat, turun derajat, jatuh merek
  16. Dunia tak selebar daun kelor: jangan cepat berputus-asa karena masih banyak yang lain.
  17. Dinding teretas, tangga terpasang: bukti sudah cukup bahwa seseorang berniat jahat.
  18. Diberi sehasta hendak sedepa: sudah diberi sedikit minta lebih banyak lagi; sangat rakus dan tamak; tidak pernah puas dengan apa yang sudah diperoleh.
  19. Diganjur surut bagai bertanam: selalu mundur ke belakang.
  20. Diam di bandar tak meniru, diam di laut asin tidak: tetap saja bodoh; orang yang tidak memanfaatkan kesempatan untuk belajar walaupun tinggal di kota.
  21. Hidup enggan mati tak mau: hidup yang sangat menderita, misalnya: melarat karena sangat miskin atau sakit-sakitan terus.
  22. Elok berarak di hari panas: bersenang-senang/berpesta ria baru pada tempatnya bila orang tersebut mampu melakukannya.
  23. Esa hilang, dua terbilang: terus berjuang/berusaha dengan gigih sampai tercapai tujuan/cita-cita.
  24. Enak lauk dikunyah-kunyah, enak kata diperkatakan: perkataan/nasihat yang baik itu seringlah diulang-ulang supaya terpahami dengan baik.
  25. Fajar menyingsing, elang menyongsong: sambutlah hari dengan semangat berusaha/bekerja yang gigih/kuat.
  26. Gabak di hulu tanda akan hujan: suatu hal/huru-hara akan terjadi karena sudah tampak tanda-tanda ke arah sana.
  27. Gajah ditelan ular lidi: anak orang besar jatuh cinta kepada anak orang kecil/rendah.
  28. Gajah dialahkan oleh pelanduk: orang besar dapat dikalahkan oleh orang cerdik.
  29. Gajah mati karena gadingnya: orang sering mendapat kesusahan/kesukaran justru karena kelebihan yang ada padanya.
  30. Geleng bukan, angguk ia: mengangguk untuk menyatakan bukan; yang dikatakan tak sama dengan yang ada dalam hati.
  31. Gajah mati tulang setimbun: orang besar/kaya yang meninggal akan meninggalkan banyak harta pusaka.
  32. Hafal kaji karena diulang, pasar jalan karena ditempuh: semua pekerjaan akan menjadi lancar/mahir jika selalu dilakukan berulang kali.
  33. Hendak menangguk ikan, tertangguk pada batang: mengharapkan keuntungan, namun kerugian yang diperoleh.
  34. Hari pagi dikejar-kejar, hari petang dibuang-buang: selagi waktu masih banyak tidak dimanfaatkan, ketika waktu sudah tinggal sedikit barulah kalang-kabut.
  35. Hidup seperti umang-umang: kehidupan yang sangat miskin.
  36. Harap pada yang ada, cemas pada yang tidak ada: orang yang tidak memiliki kesabaran.
  37. Hasrat hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai: ingin mencapai sesuatu, sayangnya syaratnya untuk itu tidak ada atau tidak dipunyai.
  38. Harum seperti malaikat lalu: sangat harum; sangat banyak memakai wewangian.
  39. Harum menghilangkan bau: nama yang baik itu menghilangkan kejahatan/kejelekan sebelumnya.
  40. Harapkan guntur di langit, air di tempayan dicurahkan: terlalu mengharapkan keuntungan yang belum pasti, yang sudah ada ditangan disia-siakan, akhirnya yang manapun tidak dapat.
  41. Hidup tolong-menolong, sandar-menyandar: orang yang hidup seharusnya saling bantu membantu.
  42. Hilang geli oleh gelitik, hilang bisa oleh biasa: mula-mula tidak menyenangkan dan membuat malu, tetapi lama-kelamaan semua perasaan itu lenyap.
  43. Hulu malang pangkal celaka: asal-mula kesialan tersebut.
  44. Hidup dikandung adat, mati dikandung tanah: orang yang hidup di suatu tempat harus mematuhi norma yang berlaku di masyarakat.
  45. Hancur badan dikandung tanah, budi baik terkenang jua: meski jasad manusia sudah tidak berbentuk lagi, jika manusia ini pernah melakukan budi baik maka orang lain pasti masih mengingat budi baiknya itu.
  46. Habis beralur, maka beralu-alu: setelah upaya perundingan berkali-kali gagal, barulah boleh mengambil jalan kekerasan.
  47. Nasi sama ditanak, kerak dimakan seorang artinya pekerjaan dilakukan bersama-sama, namun keuntungan hanya dinikmati oleh seorang saja.
  48. Nibung bangsai bertaruk muda artinya orang tua yang bertingkah laku seperti anak muda.
  49. Nyamuk mati gatal tak lepas artinya orang yang didendami sudah dijatuhi hukuman, namun dendam terhadapnya tidak juga hilang.
  50. Neraca yang palingan, bungkal yang piawai artinya hakim yang adil dalam memutuskan perkara.
  51. Neraca palingan bungkal, hati palingan Tuhan artinya pikiran manusia itu tidak tetap, selalu berubah-ubah.
  52. Nasib sabut terapung, nasib batu tenggelam artinya kalau lagi nasib baik tentunya menang atau beruntung, kalau nasib jelek ya sial atau merugi.
  53. Nasi tak dingin, pinggan tak retak artinya menyatakan sama-sama tak ingin (lanjutannya : tuan tak ingin, kami tak hendak).
  54. Nasi sudah menjadi bubur: Kejadian atau perbuatan yang telah terlanjur terjadi atau dilakukan.
  55. Nafas tak sampai ke hidung artinya sibuk sekali.
  56. Sambil menyelam minum air mengerjakan suatu pekerjaan, dapat pula menyelesaikan pekerjaan atau masalah yang lain.
  57. Sebelum ajal berpantang mati: kehidupan dan kematian ditentukan oleh Tuhan
  58. Sekali air besar, sekali tepian berubah: setiap ada pergantian pemimpin, (selalu) ada pergantian atau perubahan aturan.
  59. Seperti anjing dengan kucing artinya digunakan untuk menggambarkan dua orang yang saling bermusuhan dan tidak bisa didamaikan.
  60. Sepandai-pandai tupai meloncat, jatuh juga artinya tidak ada orang yang sempurna, setiap orang pasti pernah berbuat kesalahan/kejahatan/kegagalan.
  61. Seperti anak ayam kehilangan induk artinya digunakan untuk menggambarkan situasi di mana sebuah kelompok kehilangan pemimpinnya sehingga bingung dan tidak tahu harus melakukan apa. Contoh: Sejak atasan kami berangkat ke Bali, kami seperti anak ayam kehilangan induk.
  62. Seperti air dengan kolam: seorang yang selalu tenang dalam pembawaannya maupun tingkah lakunya.
  63. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui juga sekali tepuk dua lalat artinya satu kali melakukan pekerjaan, mendapatkan beberapa hasil (atau keuntungan) sekaligus.
  64. Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya: sekali saja mengkhianati teman maka untuk selanjutnya anda tidak dipercayai lagi.
  65. Hujan tak sekali jatuh, simpai tak sekali erat: kerja itu harus berangsur-angsur, takkan selalu dapat selesai sekaligus semuanya.
  66. Hati gatal, mata digaruk: sangat ingin, tetapi tak mempunyai syarat untuk mendapatkan keinginan tersebut.
  67. Habis adat dengan kerelaan, hilang adat tegal mufakat: adat lama boleh saja tidak dituruti apabila ada kata sepakat (tegal mufakat).
  68. Harap akan anak buta mata sebelah, harap akan teman buta mata keduanya: percaya kepada anak sendiri bisa jadi tertipu sedikit, namun percaya kepada teman bisa tertipu sama sekali.
  69. Harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan: terlalu mengharapkan keuntungan yang belum pasti, yang sudah ada ditangan disia-siakan, akhirnya yang manapun tidak dapat.
  70. Harimau mengaum takkan menangkap: orang yang mengancam lebih dahulu biasanya tidak berbahaya.
  71. Hati bagai baling-baling: orang yang tak teguh pendiriannya; selalu berubah-ubah.
  72. Hati gajah sama dilapah, hati tungau sama dicecah: hasil yang diperoleh dibagi sama, bila diperoleh banyak maka sama-sama mendapat banyak, bila sedikit maka sama-sama sedikit pula.
  73. Hendak ulam, pucuk menjulai: sangat beruntung; mendapatkan sesuatu lebih dari apa yang diharapkan.
  74. Hilang di mata di hati jangan: walaupun tempat tinggal sudah berjauhan namun jangan saling melupakan.
  75. Hujan berpohon, panas berasal: segala sesuatu kejadian itu pasti ada sebab musababnya.
  76. Jadilah orang pandai bagai padi yang merunduk: Sebagai seorang yang pandai kita harus merasa rendah hati.
  77. Jagung tua tak hendak masak: bagai menyekolahkan anak yang nakal dan bodoh, uang orang tua habis, anak tak pernah lulus.
  78. Jalan raya titian batu: adat istiadat yang lazim sejak dahulu.
  79. Janji sampai, sukatan penuh: sudah sampai ajalnya.
  80. Jatuh ke tilam empuk: orang besar/kaya walaupun sudah diberhentikan dari jabatannya/pekerjaannya, hidupnya tidak begitu melarat.
  81. Jauh berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak dirasai: orang yang banyak merantau banyak pula pengalaman/pengetahuannya.
  82. Jauh di mata, dekat di hati: walaupun tidak bertemu karena dipisahkan oleh jarak namun di hati tetap terkenang/teringat selalu.
  83. Jauh di mata, jauh di hati: teringat selagi berdekatan, namun bila telah berjauhan maka menjadi lupa.
  84. Jawi hitam banyak tingkah: orang yang cerewet.
  85. Jelatang di hulu air: sesuatu yang selalu menyusahkan saja.
  86. Jerat halus kelindan sutera: tipu muslihat yang sangat halus.
  87. Jerat serupa jerami: mengambil keuntungan pada saat orang beroleh kesukaran.
  88. Jerih menentang laba: jika orang mau bersusah payah terlebih dahulu, pasti ada imbalan yang akan diharapkan.
  89. Jika air orang disauk, ranting orang dipatah, adat orang diturut: jika berdiam di suatu tempat, hendaklah adat istiadat orang di tempat itu dituruti.
  90. Jika keruh dihulu, tak dapat tidak dihilir keruh juga: jika perkara dari awal sudah penuh dengan kecurangan maka akhirnya tidak akan selamat juga.]
  91. Jika takut dilanggar batang, jangan duduk di kepala pulau: jikalau takut akan risiko/bahaya, jangan kerjakan pekerjaan yang sia-sia/berbahaya.
  92. Jika takut dilimbur pasang, jangan berumah di tepi pantai: jikalau takut akan risiko/bahaya, jangan kerjakan pekerjaan yang sia-sia/berbahaya.
  93. Jinak-jinak merpati, sudah dekat terbanglah dia: tampaknya mudah untuk didekati, ternyata sukar.
  94. Jual emas beli intan: maju setingkat.
  95. Jung pecah hiu kenyang: dalam suatu negeri yang tidak mempunyai pemerintahan yang baik dan kuat, atau dalam negeri yang timbul huru-hara, maka orang-orang jahat akan mengambil keuntungan dari suasana tersebut.
  96. Jung satu nakhoda dua: sebuah perusahaan/jawatan/organisasi yang mempunyai dua pimpinan akan menghasilkan hal yang tidak baik.
  97. Ijuk selembang, tali di situ, keluan di situ: pencaharian tidak mencukupi padahal tanggungan banyak.
  98. Ijuk tidak bersagar, lurah tidak berbatu: tidak mempunyai keluarga yang dipandang; dimalui orang.
  99. Ikan biar dapat, serampang jangan pukah: bekerja dengan hati-hati sekali.
  100. Ikut hati mati, ikut rasa binasa: orang yang hanya memperturutkan kata hati saja tanpa menggunakan akal fikiran maka dia akan gagal dalam kehidupannya; binasa.
  101. Inai tertepung, kuku tanggal: sesuatu yang selesai dikerjakan, tetapi ternyata ada kesukarannya.
  102. Hasrat hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai: ingin mencapai sesuatu, sayangnya syaratnya untuk itu tidak ada atau tidak dipunyai.
  103. Isi lemak dapat ke orang, tulang bulu pulang ke kita: dalam menjalankan suatu pekerjaan/tugas, orang lain mendapat senangnya, kita sendiri hanya mendapatkan susahnya.
  104. Kacang lupa akan kulitnya : seseorang yang lupa akan asal-usulnya. Terutama ini biasanya digunakan bagi seseorang yang berasal dari kampung atau desa dan pergi ke kota menjadi kaya atau memiliki jabatan tinggi dan lupa daratan.
  105. Lain gatal, lain yang digaruk artinya lain yang berbuat salah, lain pula yang dituduh (tertuduh bukan yang berbuat salah).
  106. Laksana apung-apung di tengah laut, dipukul ombak hanyut ke tepi artinya perihal kedudukan yang belum mantap.
  107. Laksana garam dengan asam artinya cocok sekali, seia sekata.
  108. Lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup bercermin bangkai: daripada hidup menanggung malu, lebih baik mati.
  109. Lebih baik satu burung di tangan dari pada sepuluh burung di pohon Artinya lebih memiliki barang, walau sedikit tetapi pasti. Dibandingkan dengan barang banyak tetapi tidak pasti.
  110. Lembah juga yang dituruti air artinya orang yang kaya juga yang bertambah kaya.
  111. Lembu dongkol hendak menyondol artinya mengancam namun tak mempunyai kekuatan.
  112. Lewat dari manis, masam; lewat dari harum, busuk artinya pada awalnya saling berkasih-kasihan, lama-lama selalu bertengkar.
  113. Lidah tak bertulang artinya manusia sangat mudah untuk berbohong / mengumbar janji.
  114. Lonjak seperti labu dibenam artinya lenggang seseorang yang menunjukkan kesombongannya.
  115. Lubuk akal tepian ilmu: orang cerdik cendekia tempat meminta nasihat
  116. Lubuk akal tepian ilmu artinya orang yang pandai tempat kita bertanya.
  117. Luka boleh sembuh, parutnya tinggal juga artinya permusuhan boleh hilang karena berdamai, namun hati yang disakiti sangat sukar mengobati / melupakannya.
  118. Luka di kaki, sakit seluruh badan artinya seorang yang disakiti / dihina maka yang merasakan adalah seluruh keluarga / sanak saudara.
  119. Luka di tangan karena pisau, luka di hati karena kata artinya berhati-hatilah dalam berkata=kata, karena dapat melukai perasaan orang lain.
  120. Padam menyala, tarik puntung : artinya sesudah tidak berbahaya lagi baru mau mencampuri sesuatu perkara.
  121. Pandai berminyak air: orang yang pandai menggunakan barang-barang yang tak berharga, tetapi baik atau memuaskan hasilnya
  122. Pekak-pekak badak artinya pura-pura tak mendengar, padahal sebenarnya sangat menginginkan hal tersebut.
  123. Putus tali tempat bergantung, terban tanah tempat berpijak : kehilangan orang tempat menyandarkan hidup, misal istri kehilangan suami sedangkan anak masih kecil-kecil.
  124. Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi : perilaku orang tua seperti anak kecil atau anak baru gede
  125. Tongkat membawa rebah artinya yang disuruh menjaga justru yang merusakkannya.
  126. Terkatung macam biduk patah kemudi - hidup sengsara karena tidak ada tempat bergantung.
  127. Terpegang di abu dingin: mendapat atau mencampuri sesuatu (urusan) yang menyusahkan atau mencelakakan diri sendiri.
  128. Tiada beban dicari beban, pergi ke pulau batu digalas - kurang kerjaan, mencampuri urusan orang tanpa diminta.
  129. Ubun masih bergerak sudah angkuh : usia / pengalaman / pengetahuan masih muda / sedikit sudah sombong / tak tahu diri / bangga.
  130. Utang emas dapat dibayar, utang budi dibawa mati : artinya lebih baik berhutangkan barang daripada termakan budi orang, karena utang budi sukar sekali membayarnya.