Sunday, December 20, 2009

Joyce dan Sepeda Jengk

Siang ini aku duduk di dalam kelas saja, tidak ikut keluar istirahat. Ulangan Kimia terakhir aku dapat skor telak: 3! Sebetulnya membaik, karena naik dari nilai 2 sebelumnya, tetapi tetap saja di bawah rata-rata. Tetapi apa mau dikata, kelihatannya aku memang tidak berbakat di pelajaran Kimia, sejak masuk di kelas 1A4 ini sampai sudah hampir semesteran, aku masih belum bisa mendapat nilai pas 6. Maka siang ini, aku memutuskan untuk membuka-buka buku Kimia Peperzak, mencoba mengerjakan satu dua soal. Setidaknya nanti kalau Pak Kris bertanya, aku bisa jawab sedikit-sedikit.

Aku mencoba satu soal tentang hukum Pascal. Mencoba mengerti maksud dari kata-kata soal itu, tapi koq kayaknya tidak masuk-masuk. Sambil mencoret-coret enggak jelas, aku mulai menghitung-hitung dengan rumus sekenanya. Tiba tiba sebuah tangan menepuk mejaku keras-keras, “Dit!....” Aku terlonjak.

Joyce berdiri di samping mejaku sambil senyum-senyum. Rasa kagetku masih belum hilang. “Ngapain di kelas aja?” Tanyanya, masih sambil senyum-senyum seenaknya. Tangannya mulai iseng, ikut-ikut membuka halaman buku Kimiaku. “Aku lagi pusing, Jo, Kimiaku jeblok!” Jawabku, setengah berbisik.

“Emang, kamu dapet berapa?”

“Malu ah Jo, cuma tiga…”

“Ha…ha… masih pinteran aku dong…”

“Kamu berapa?”

“Empat!! Ha…ha…ha…” Tawa Joyce menggema ke seantero kelas yang kosong.

Aku tidak terlalu menanggapi komentarnya. Masalahnya, rasa grogi mulai menyerang diriku. Ya, siapa sih tidak kenal Joyce di sekolah ini. Ia mulai masuk di kelasku pada pertengahan semester satu ini, mengikuti ayahnya yang pindah dari Sorong ke Jakarta. Joyce yang penampilan pertamanya saja bikin kaum cowok di kelas ini jadi tak konsen. Joyce yang ramah dan selalu tertawa lepas, tidak pernah tampak jaim, malah kaum cowok yang jadi jaim kalau berhadapan dengannya. Maka, saat dia berdiri di samping mejaku, di jam istirahat siang ini, waktu rasanya berhenti berputar.

“Eh, kamu lagi ngerjain apa, Dit?” Tanyanya, menyentak lamunanku.

“Ah… ini, lagi nyoba-nyoba soal Peperzak. Biar agak ngerti dikit…” Jawabku dengan setengah bergetar.

“Coba lihat… Eh, soal ini nih yang keluar ulangan kemarin. Coba Dit, kerjain deh..” Pinta Joyce, yang suaranya membuatku otomatis-tanpa sadar-mengambil pensil dan mulai corat-coret perhitungan persamaan kimia.

Ajaib!

Tiba-tiba koq aku bisa menangkap pertanyaan dari soal ini. Dan kurang dari dua menit, selesailah! Joyce segera mencocokkannya dengan kunci, dan…. Ternyata benar 100%.

“Ih… Didit, ternyata kamu pinter, nih buktinya bisa… Eh coba lagi deh yang nomor berikutnya…” Pintanya lagi, sambil sedikit menggamit lenganku. Seakan mendapat kekuatan entah dari mana…. Walah ternyata soal kedua inipun bisa kulalap dengan sempurna.

“Wah… emang bener kamu pinter Dit. Lain kali aku bisa numpang belajar bareng dong ya…” Ujar Joyce penuh semangat. Tanpa menunggu responku, ia berlalu sambil membawa kertas coret-coretan tadi. Aku masih terpana, takjub dengan kemampuan kimiaku yang baru saja terkuak, setelah sekian lama tersembunyi di bawah skor 4!

**********

Aku menengok kiri kanan, memastikan bahwa semua teman sekolah sudah bubar. Setelah yakin aman, segera kukeluarkan sepeda bututku dari balik pos satpam. Setiap hari sejak kubeli dari pasar loak Gang Asem dua minggu lalu, sepeda ini selalu kusembunyikan di sini. Bukannya apa-apa, tetapi saat motor bebek SuperCub sedang menjadi tren tahun 84 ini, membawa sepeda, apalagi bekas dan butut-catnya sudah belang- pasti akan jadi tontonan dan bahan sorakan seru.

Kucantelkan tas selempangku di pundak, melompat naik ala nyemplak kuda, dan kumulai kayuhan pertama…

“Diiiiitttt……..!”

Tak bisa kukuasai lagi peganganku pada setang sepedaku. Maka terjatuhlah sang sepeda warna biru-pink-hijau tembok ini, bergedubrakan bersama tubuhku dan isi tas yang tumpah ruah. Aku benar-benar kaget!

“Aduh… aduh… kalau baru bisa naik sepeda hati-hati dong…”

Dalam keadaan setengah tengkurap, aku mencoba mencari asal suara itu. Seorang gadis berambut sebahu tampak tengah memunguti isi tasku dan memasukkannya. Itu Joyce, yang tadi siang membuatku bisa menyelesaikan soal Peperzak.

Aku diam terduduk, masih tak mampu berdiri karena perasaan campur aduk, antara sakit di dengkul, rasa malu dan masih sedikit kaget. “Nih tasnya.” Joyce menyerahkan tas selempangku sambil menarik tanganku mencoba membantuku berdiri. Terlambat, aku sudah tidak bisa menyembunyikan keberadaan sepeda bututku dan statusku yang malu banget.

“Makasih…” Jawabku tanpa berani memandang wajahnya.

“Emang tiap hari kamu naik sepeda ke sekolah Dit?” Tanya Joyce dengan nada lugu.

“Iya…” Ya sudahlah, toh aku tak bisa menyembunyikannya.

“Padahal sudah enggak ada lho yang naik sepeda ke sekolah.” Ujarnya, “Tapi dulu di kampungku masih banyak. Yang naik motor cuma yang berduit saja.”

Ya, tentu saja, aku juga tahu. Kalau aku punya duit banyak pasti juga beli motor SuperCub itu.

Joyce melihat ke sepedaku, tangannya mencoba meraih setangnya, dengan pandangan yang sulit diduga.

“Aku kangen naik sepeda Dit. Udah lama sejak pindah ke Jakarta, aku enggak pernah naik sepeda.”

“Di rumah kamu enggak ada sepeda?” Tanyaku, kali ini seakan ikut terbawa perasaannya.

“Iya. Kangen lho naik sepeda ke sekolah ramai-ramai seperti dulu di Sorong.”

“Bukannya sekarang lebih enak, Jo, kan kamu diantar jemput sopir.”

Joyce tidak menjawabku. Tangannya sekarang sudah memegangi setang, dan tangan yang satunya mengelus-elus sadel sepeda jengki itu.

Tiba-tiba di luar dugaanku, Joyce berkata, “Dit, pinjam sebentar ya, aku putar-putar di lapangan parkir ini aja. Boleh ya, Dit…”

Aku hanya bisa mengangguk. Tanpa menunggu isyarat lebih jauh, ia segera nyemplak ke sadel sepedaku yang cukup tinggi-maklum, ukuran tukang ojek. Dan segera saja ia sudah berkeliling lapangan parkir.

Joyce tampak senang sekali. Rambutnya tergerai-gerai tertiup angin. Senyumnya tak lepas-lepas, memamerkan sederet gigi putih kemilau yang rapi. Joyce memang bukan asli Papua. Dulu, ayahnya yang pejabat di perusahaan minyak ditugaskan ke Sorong, dan ia lahir serta besar di sana. Sekarang, ayahnya kembali bertugas ke Jakarta. Tapi, yang kuperhatikan saat ini, bukanlah anak seorang berada yang biasa naik turun mobil. Yang di hadapanku, bersepeda berkeliling lapangan parkir adalah suatu pemandangan indah di sore hari. Seorang gadis cantik yang seakan terpukau oleh kegembiraan seperti anak kecil yang mendapatkan hadiah baru.

Akhirnya, kamipun saling bergantian naik sepeda itu, tertawa-tawa menikmati sore yang tidak panas ini. Joyce tak perduli, sopirnya sudah lama menunggunya. Hampir dua jam kami saling bersepeda. Setelah itu, kami duduk di tepi lapangan parkir, di bawah naungan pohon mahoni.

“Dit, boleh ya kalau besok-besok aku pinjam sepeda kamu.”

Aku mengangguk dan tersenyum, lupa bahwa dua jam lalu, aku masih merasa malu dengan sepeda jengki butut ini. Sekarang si jengki berdiri di atas sandarannya, tampak gagah, di hadapan kami. Kami lalu membahas rencana untuk mempercantiknya. Joyce bahkan sudah bertekad Sabtu ini untuk mengecat ulang sepedaku, yang belum kami sepakati warnanya. Habis, dia ngotot minta perpaduan merah muda dan ungu. Tapi aku tak perduli segala rencana lainnya. Yang jelas, sejak itu, kami menjadi begitu akrab.

**********

Maka, sejak peristiwa soal Kimia dan sepeda jengki ini, hidupku terasa berubah begitu banyak. Sekarang Kimia bukan lagi mata pelajaran yang menyeramkan, setidaknya skor minimalku adalah 7. Dan sepeda jengkiku… sekarang sudah jadi milik kami, aku dan Joyce. Aku tidak malu lagi menungganginya ke sekolah dan parkir di antara SuperCub dan GL-Pro. Hanya aku masih belum setuju rencana Joyce untuk melekatkan pita-pita warna-warni di setangnya.

## by Dytra: Suatu siang di 1984 ##


No comments:

Post a Comment